Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaan sejak 67 tahun silam.
Namun, sebagian rakyat Indonesia belum benar-benar merdeka dari
kemiskinan. Persentase penduduk miskin Indonesia pada tahun 2008
(15,42%) menurun sekitar 2 persen dibanding persentase pada 1996
(17,47%). Jika dilihat dari jumlah absolut, jumlah penduduk miskin
meningkat dari 34,01 juta (1996) menjadi 34,96 juta (2008) (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008).
Presiden sudah berganti empat kali sejak Soeharto lengser. Dan,
setiap pemerintahan mengaku sudah berusaha keras mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan dengan mengalokasikan triliunan rupiah guna membiayai
berbagai program kemiskinan. Namun, angka kemiskinan tidak menurun
secara berarti. Selama kurun 2010 - 2012, Pemerintah SBY telah
mengalokasikan dana APBN sebesar Rp172 triliun untuk pos bantuan sosial
yang digunakan untuk program-program pengentasan masyarakat miskin.
Ratusan triliun rupiah dan berbagai macam program seolah tidak
efektif mengentaskan masyarakat miskin. Melihat kondisi ini, tentu ada
yang salah dari sisi kebijakan. Atau bahkan paradigma pengentasan
masyarakat miskin itu sendiri yang salah. Terdapat dua paradigma yang
perlu diluruskan dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Paradigma pertama, pemerintah selama ini memandang
kemiskinan hanyalah angka-angka statistik bisu yang harus diturunkan
persentasenya dari tahun ke tahun sebagai salah satu indikator
kesuksesan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Konsekuensi dari paradigma ini, pemerintah berusaha keras menurunkan
angka kemiskinan secara instan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hal ini
dilakukan dengan jalan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan populis,
seragam, dan mengabaikan kearifan lokal yang bertujuan mengurangi angka
kemiskinan sekaligus menarik simpati masyarakat. Kebijakan ini hanya
akan menurunkan kemiskinan secara semu, di mana ketika program-program
pemerintah berhenti, kelompok miskin akan kembali menjadi miskin.
Sudah seharusnya kemiskinan tidak hanya dipandang sebatas angka,
melainkan sebagai entitas yang hidup dan berkembang menurut dimensi
ruang dan waktu. Kemiskinan yang bersifat hidup dan berkembang dalam
dimensi waktu mengharuskan pemerintah memutus lingkaran hidup/rantai
kemiskinan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang kaya mati
meninggalkan kekayaan dan pendidikan bagi anak-anaknya, sedangkan orang
miskin mati mewariskan kemiskinan dan kebodohan bagi anak-anaknya.
Keluarga miskin tidak mampu memberikan asupan gizi dan fasilitas
pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya. Kombinasi kekurangan gizi dan
pendidikan yang rendah akan menghasilkan generasi kurang berkualitas,
serta tenaga kerja tidak produktif, bergaji rendah, dan tidak
kompetitif. Karena itu, anak dari keluarga miskin akan terjebak dalam
kemiskinan kembali.
Di sisi lain, anak dari keluarga kaya memperoleh asupan gizi,
fasilitas pendidikan, jaringan, dan akses pengetahuan yang prima.
Kombinasi berbagai hal tersebut, serta tambahan warisan dalam jumlah
besar, menjadikan anak-anak dari keluarga kaya generasi berkualitas,
bergaji tinggi, dan kompetitif, sehingga mereka sulit jatuh dalam jurang
kemiskinan.
Karena itu, untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan memutus
lingkaran kemiskinan, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan
"Robin Hood": mengambil sedikit kesenangan/harta dari kelompok kaya
melalui pajak barang warisan dan hasilnya digunakan untuk mendukung
kegiatan pendidikan dan perbaikan gizi bagi kelompok miskin.
Paradigma kedua, yang perlu diluruskan adalah
paradigma pengentasan masyarakat miskin dengan memberikan “ikan” atau
“kail”. Sudah selayaknya perdebatan kebijakan memberikan ikan atau kail
diberhentikan, karena keduanya bersifat saling melengkapi. Kebijakan
memberikan “ikan”, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan sebagainya,
yang akan sangat menolong golongan tidak produktif, misalnya kelompok
lanjut usia, perlu diteruskan. Sedangkan kebijakan memberikan “kail”,
seperti kredit usaha dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM), melalui pinjaman bergulirnya sangat cocok bagi kelompok usia
produktif.
Paradigma pengentasan masyarakat miskin seharusnya tidak hanya
memberikan “ikan” dan/atau “kail”, tetapi harus ditambah dengan
paradigma “pencipta”, di mana kelompok miskin dibekali pengetahuan agar
bisa membuat kail untuk mencari ikan sendiri. Kebijakan ini bersifat
jangka panjang dan hanya bisa dilakukan dengan investasi di bidang
pendidikan dan kesehatan yang hasilnya baru terasa 15-20 tahun
mendatang.
Alokasi 20% APBN untuk Bantuan langsung masyarakat (BLM) seharusnya
tidak hanya digunakan untuk pendidikan formal, tetapi digunakan juga
untuk program makanan tambahan/gizi bagi anak-anak usia Sekolah Dasar
(SD) melalui program makan siang di sekolah.
Kebijakan ala Robin Hood tidaklah menguntungkan secara politik.
Sedangkan investasi di sektor pendidikan/kesehatan hasilnya tidak bisa
dilihat secara instan selama lima tahun berkuasa. Karena itu, pemerintah
akan setengah hati untuk menjalankan dua kebijakan di atas. Tetapi,
tanpa keberanian dan kebijakan radikal, mungkin kita akan dijajah oleh
kemiskinan selamanya.
Lahirnya dan berkembangnya PNPM Mandiri Perkotaan, diharapkan dapat
merubah derajat kaum miskin. Dengan kekuatan tiga daya (Lingkungan,
Sosial dan Ekonomi) melalui fase Awal, Berdaya, Mandiri yang berakhir
dengan Madani, merupakan cita-cita bangsa Indonesia.