Hukum merupakan sebuah aturan yang mencoba merepresentasikan pelbagai
ketidak-nyamanan masyarakat terhadap segala bentuk pengingkaran
terhadap norma-norma. Hukum disini lebih kepada sarana untuk melakukan
control sosial, yaitu proses mempengaruhi orang-orang untuk
bertingkah-laku sesuai dengan harapan masyarakat. Pada ranah praktis,
sarana teersebut memerlukan semacam badan ataupun institusi yang memang
conern terhadap permasalahan hukum.
Namun demikian, hukum disini tampak statis disebabkan hukum sekedar
mempertahankan pola hubungan-hubungan dan kaedah-kaedah yang ada.
Sedangkan problem masyarkat dinamis,selalu bergulis seiring perubahan
yang tidak bisa dibendung. Hal inilah sebennarnya yang menjadi pemicu
keharusan adanya penyesuaian pada tubuh hukum dan institusi hukum itu
sendiri dalam mengkaji substansi dari hukum itu sendiri.Selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan yang
sifatnya procedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini, keadilan
prosedural merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi undang-undang
an-sich. Sepanjang bunyi UU terwujud, tercapailah keadilan secara
formal! Apakah secara materiil keadilan itu benar-benar dirasakan adil
secara moral dan kebajikan (virtue) bagi banyak pihak? Para penegak
keadilan prosedural tidak memedulikannya. Mereka, para penegak keadilan
prosedural itu, biasanya tergolong kaum positivistik dan tidak melihat
betapa masyarakat tidak merasakan keadilan yang sejatinya hukum
merupakan sarana mewujudkan keadilan yang tidak sekedar formalitas.
Banyak kasus-kasus putusan hakim yang tidak mencerminkan substansi
keadilan hukum dimana beberapa dekade balakangan ini mewarnai media
pewartaan nasional. Semisal kasus Ibu Minah dengan Semangkanya, atau
kasus Prita—walaupun sudah dibebaskan dari gugatan—serta kasus-kasus
lainnnya. Bagi kaum positivistik, keputusan-keputusan hukum dapat
dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih
dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan,
serta moralitas. Betapa pun tidak adil dan terbatasnya bunyi
undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan dari
situ kepastian hukum bisa ditegakkan.
Ironisnya, seringkali keadilan hukum Indonesia cenderung milik para
penguasa, minimal orang kuat. Sehingga jargon masyarakat terhadap hukum
di Indosian memang benar adanya bahwa hukum akan kuat ketika melawan
orang lemah, akan tetapi ia akan lemah ketika berhadapan dengan orang
kuat (ex; orang kaya-penguasa). Atau bahkan sekedar menjadi mainan para
penegak hukum itu sendiri.
PROBLEM KEADILAN HUKUM UNTUK RAKYAT
Meskipun secara konseptual idealisme yang terkandung dalam keadilan
substantif lebih adiluhung daripada yang terkandung dalam keadilan
prosedural, upaya mewujudkan keadilan substantif akan berbenturan dengan
perihal kepastian hukum (equity). Keadilan hanya bisa dipahami jika ia
diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya
untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi
oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan
politik untuk mengaktualisasikannya.
Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas
absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya
hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang
sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari
pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika
begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau
pengertian lain dari pandangan ini.
Namun demikian, penulis tidak akan berpanjang lebar membahas
perlbagai teori keadilan yang, melainkan akan lebih menyentuh pada
wilayah substantif dimana segala bentuk keadilan yang merupaka manifesto
dari gejala masyarakat yang mengupakan kejerahteraan yang tercerahkan.
Keadilan yang tidak pandang status.
Dalam rangka memenuhi keadilan substantif tersebut, hemat penulis,
perlu adanya upaya mengembalikan hukum itu pada tujuan yang benar-benar
ideal; menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa melihat status
dari masyarakat itu sendiri. Hukum dalam hal ini harus melihat sistem
nilai yang ada dalam masyarat, buka sistem politik.
Sebab, belakangan ini masyarakat merasa tidak merasakan kesejateraan
itu dari hukum yang bergulir di Indonesia. Hal tersebut semisal dengan
adanya gerakan sejuta facebook untuk mendukung KPK ketika beberapa tempo
kemarin konflik dengan polri, atau gerakan koin untuk prita, dan
pelbagai aksi masyarakat lainnya yang menampakkan kekecewaan mereka
terhadap hukum, institusi hukum di Indonesia.
“Hukum” di mata masyarakat sudah tidak mempunya wibawa samasekali
ketika hukum itu tidak ditaati oleh masyarakat. Sedangakan pada umumnya,
hukum harus mempunyai kewibawaan sehingga secara psikologis berpengaruh
terhadap orang-orang yang ada di bawah hukum itu sendiri. Sejatinya,
wibawa hukum tidaklah terletak dalam kekuasaan pemerintah yang
menciptakannya. Sebab, jika demikian, hukum itu akan ditakuti bukan
dihormati.
Dus, Wibaha itu ada pada hukum itu sendiri. Sebab, hukum itu mengatur
dan membimbing kehidupan bersama manusia atas dasar prinsi keadilan
(yang sebagian diambil dari norma kesusilaan dan sebagiannya diambil
dari norma agama).
Tidak selesai pada satu titik tersebut. Perjalan hukum di Indonesia
sangat menuntut adanya kesadaran hukum semua pihak. Sebab, sebaik apapun
suatu sistem tanpa ditopang/didukung oleh individu yang baik pula,
idealisme untuk menciptakan keadilan hukum substansial hanya akan
menjadi misionis-utopis.
Dengan pola pengaturan yang demikian, diharapkan hukum tetap
mempunyai wibawa yang dihormati dan pada ranah selanjutnya dapat
dipatuhi oleh masyarakat semua kalangan. Hal tersebut tidak akan pernah
terjadi jika masyarakat belum merasakan kesejahteraan yang dihasilkan
dari adanya hukum itu sendiri.
Transformasi sistem nilai dalam praktek pemutusan sebuah hukum masih
perlu untuk dikaji secara kontekstual. Dengan tidak menutup formula
hukum formal, merekonstruksi pemahaman modern terhadap fleksibelitas
hukum itu sendiri. Sehingga kita akan menemukan pengertian, implementasi
Hukum yang inklusif dan tetap elastis pada zaman modern saat ini yang
banyak tersentuh dengan problematika sosial yang baru pula.
Dengan demikian, akan tampak bahwa hukum akan lebih berarti guna
apabila ia dibiarkan hidup berkembang bebas di masyarakat, menjadi
etika, sarana kontrol, dan pembebasan, serta emansipasi sosial, dan
bukan sebaliknya. Sehingga, yang tercipta adalah hukum yang memang
menyejarterakan rakyat dan tidak terjebak dengan faktor self interest
yang dapat mencoreng wibawa hukum itu sendiri.
Akhirnya, apologia prolibro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai
sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan.
Dengan demikian, penulis mengharap kritis-saran dari para pembaca yang
budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya.
Sumber : http://fawaidroh.wordpress.com