-Ketua Forum Peduli Masyarakat Miskin (FPMM) Cabang Jakarta Timur

-Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) Cabang Jakarta Timur

Rabu, 25 September 2013

DILEMA KEADILAN HUKUM DI INDONESIA: Membendung Keadilan Prosedural Menuju Substansial

Hukum merupakan sebuah aturan yang mencoba merepresentasikan pelbagai ketidak-nyamanan masyarakat terhadap segala bentuk pengingkaran terhadap norma-norma. Hukum disini lebih kepada sarana untuk melakukan control sosial, yaitu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah-laku sesuai dengan harapan masyarakat. Pada ranah praktis, sarana teersebut memerlukan semacam badan ataupun institusi yang memang conern terhadap permasalahan hukum.
Namun demikian, hukum disini tampak statis disebabkan hukum sekedar mempertahankan pola hubungan-hubungan dan kaedah-kaedah yang ada. Sedangkan problem masyarkat dinamis,selalu bergulis seiring perubahan yang tidak bisa dibendung. Hal inilah sebennarnya yang menjadi pemicu keharusan adanya penyesuaian pada tubuh hukum dan institusi hukum itu sendiri dalam mengkaji substansi dari hukum itu sendiri.Selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan yang sifatnya procedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini, keadilan prosedural merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi undang-undang an-sich. Sepanjang bunyi UU terwujud, tercapailah keadilan secara formal! Apakah secara materiil keadilan itu benar-benar dirasakan adil secara moral dan kebajikan (virtue) bagi banyak pihak? Para penegak keadilan prosedural tidak memedulikannya. Mereka, para penegak keadilan prosedural itu, biasanya tergolong kaum positivistik dan tidak melihat betapa masyarakat tidak merasakan keadilan yang sejatinya hukum merupakan sarana mewujudkan keadilan yang tidak sekedar formalitas.
Banyak kasus-kasus putusan hakim yang tidak mencerminkan substansi keadilan hukum dimana beberapa dekade balakangan ini mewarnai media pewartaan nasional. Semisal kasus Ibu Minah dengan Semangkanya, atau kasus Prita—walaupun sudah dibebaskan dari gugatan—serta kasus-kasus lainnnya. Bagi kaum positivistik, keputusan-keputusan hukum dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan, serta moralitas. Betapa pun tidak adil dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan dari situ kepastian hukum bisa ditegakkan.
Ironisnya, seringkali keadilan hukum Indonesia cenderung milik para penguasa, minimal orang kuat. Sehingga jargon masyarakat terhadap hukum di Indosian memang benar adanya bahwa hukum akan kuat ketika melawan orang lemah, akan tetapi ia akan lemah ketika berhadapan dengan orang kuat (ex; orang kaya-penguasa). Atau bahkan sekedar menjadi mainan para penegak hukum itu sendiri.
PROBLEM KEADILAN HUKUM UNTUK RAKYAT
Meskipun secara konseptual idealisme yang terkandung dalam keadilan substantif lebih adiluhung daripada yang terkandung dalam keadilan prosedural, upaya mewujudkan keadilan substantif akan berbenturan dengan perihal kepastian hukum (equity). Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.
Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini.
Namun demikian, penulis tidak akan berpanjang lebar membahas perlbagai teori keadilan yang, melainkan akan lebih menyentuh pada wilayah substantif dimana segala bentuk keadilan yang merupaka manifesto dari gejala masyarakat yang mengupakan kejerahteraan yang tercerahkan. Keadilan yang tidak pandang status.
Dalam rangka memenuhi keadilan substantif tersebut, hemat penulis, perlu adanya upaya mengembalikan hukum itu pada tujuan yang benar-benar ideal; menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa melihat status dari masyarakat itu sendiri. Hukum dalam hal ini harus melihat sistem nilai yang ada dalam masyarat, buka sistem politik.
Sebab, belakangan ini masyarakat merasa tidak merasakan kesejateraan itu dari hukum yang bergulir di Indonesia. Hal tersebut semisal dengan adanya gerakan sejuta facebook untuk mendukung KPK ketika beberapa tempo kemarin konflik dengan polri, atau gerakan koin untuk prita, dan pelbagai aksi masyarakat lainnya yang menampakkan kekecewaan mereka terhadap hukum, institusi hukum di Indonesia.
“Hukum” di mata masyarakat sudah tidak mempunya wibawa samasekali ketika hukum itu tidak ditaati oleh masyarakat. Sedangakan pada umumnya, hukum harus mempunyai kewibawaan sehingga secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang ada di bawah hukum itu sendiri. Sejatinya, wibawa hukum tidaklah terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya. Sebab, jika demikian, hukum itu akan ditakuti bukan dihormati.
Dus, Wibaha itu ada pada hukum itu sendiri. Sebab, hukum itu mengatur dan membimbing kehidupan bersama manusia atas dasar prinsi keadilan (yang sebagian diambil dari norma kesusilaan dan sebagiannya diambil dari norma agama).
Tidak selesai pada satu titik tersebut. Perjalan hukum di Indonesia sangat menuntut adanya kesadaran hukum semua pihak. Sebab, sebaik apapun suatu sistem tanpa ditopang/didukung oleh individu yang baik pula, idealisme untuk menciptakan keadilan hukum substansial hanya akan menjadi misionis-utopis.
Dengan pola pengaturan yang demikian, diharapkan hukum tetap mempunyai wibawa yang dihormati dan pada ranah selanjutnya dapat dipatuhi oleh masyarakat semua kalangan. Hal tersebut tidak akan pernah terjadi jika masyarakat belum merasakan kesejahteraan yang dihasilkan dari adanya hukum itu sendiri.
Transformasi sistem nilai dalam praktek pemutusan sebuah hukum masih perlu untuk dikaji secara kontekstual. Dengan tidak menutup formula hukum formal, merekonstruksi pemahaman modern terhadap fleksibelitas hukum itu sendiri. Sehingga kita akan menemukan pengertian, implementasi Hukum yang inklusif dan tetap elastis pada zaman modern saat ini yang banyak tersentuh dengan problematika sosial yang baru pula.
Dengan demikian, akan tampak bahwa hukum akan lebih berarti guna apabila ia dibiarkan hidup berkembang bebas di masyarakat, menjadi etika, sarana kontrol, dan pembebasan, serta emansipasi sosial, dan bukan sebaliknya. Sehingga, yang tercipta adalah hukum yang memang menyejarterakan rakyat dan tidak terjebak dengan faktor self interest yang dapat mencoreng wibawa hukum itu sendiri.
Akhirnya, apologia prolibro suo, tiada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya kreatif manusia, tulisan ini masih jauh dari kesempunaan. Dengan demikian, penulis mengharap kritis-saran dari para pembaca yang budiman demi lebih baiknya tulisan-tulisan selanjutnya.