-Ketua Forum Peduli Masyarakat Miskin (FPMM) Cabang Jakarta Timur

-Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) Cabang Jakarta Timur

Jumat, 27 September 2013

Perlindungan Sosial Warga Miskin

Secara sosiopolitik, Indonesia sudah memiliki syarat-syarat minimal untuk membangun Negara Kesejahteraan (welfare state). Yang diperlukan adalah kemauan politik pemerintah kepada rakyat. Apakah dengan UU RI Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai konkritisasi kemauan politik diletakkan, dan terutama implementasinya dapat mengurangi penderitaan rakyat miskin?
Pemerintah mempunyai kewajiban memberikan perlindungan, menyediakan berbagai fasilitas agar rakyat miskin jangan sampai bertambah miskin. Rakyat miskin perlu mengalami perubahan (changes) melalui intervensi pemerintah. Tetapi perubahan yang dinantikan belum juga dicapai.  Pengangguran terbuka makin meluas. Masih banyak anak balita dari keluarga miskin yang terkepung kurang gizi akut (marasmus) karena kekurangan protein dan kalori. Sebagian rakyat miskin masih mengonsumsi ”nasi aking”. Beberapa kondisi memrihatinkan tersebut sebagai pertanda sebagian rakyat miskin bertambah miskin, alias mengalami kemunduran dalam kualitas hidup.
Pemerintah tterus memberikan bantuan sosial seperti BLSM, Jamkesmas, PKH, Raskin, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan dan obat-obatan, penyediaan layanan gawat darurat, rehabilitasi sosial, dan dana tunai, antara lain kepada masyarakat miskin dan pengangguran. Berbagai bantuan tersebut sebuah kenyataan pada waktu sekarang dan di masa mendatang. Persoalannya, bagaimana jika implementasi SJSN dengan berbagai jaminan sosial sudah terlaksana. Apakah bantuan sosial BLSM, PKH, Raskin, PKH lalu diberhentikkan?

Negara Kesejahteraan

Secara sempit dilihat dari kecamata praktis yang selama ini dilaksanakan pemerintah melalui Kementerian Sosial, pembangunan sosial didefinisikan sebagai pembangunan kesejahteraan sosial yang berorientasi pada peningkatan keberfungsian sosial (social functioning) kelompok-kelompok tidak beruntung (disadventage groups) atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan, pekerja anak, keluarga rentan, wanita rawan sosial ekonomi, para penganggur tergolong PMKS. Kita mengharapkan mereka tersentuh berbagai layanan terkait implementasi SJSN nanti.
Negara kita dibangun dengan konsepsi  negara kesejahteraan (welfare state). Pembukaan   UUD 1945 menunjukkan niat dan tujuan  negara kesejahteraan, ”Pemerintah melindungi segenap bangsa  dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pasal 27 UUD 1945  menyatakan ”setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 31 menjamin hak tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 33  mengamanatkan pengelolaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuranrakyat. Pasal 34  menegaskan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial yang bersifat nasional.
    Namun  pembangun ekonomi belum berkembang baik, dampaknya secara ekonomi negara lemah untuk merealisasikan kewajiban sebagai negara sejahtera, terutama  menyantuni faskir miskin dan anak terlantar agar fungsi sosial mereka bekerja baik. Posisi negara kita adalah ”negara lemah”, ditandai dengan pembangun ekonomi yang rendah dan pembangunan sosial yang rendah pula. Pendapatan per kepala di bawah 5.000 dollar Amerika Serikat (Edi Suharto:2007).
    Negara Keejahteraan  merupakan sosok negara ideal, karena memiliki pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial yang tinggi. Posisi negara sejahtera diduduki terutama oleh negara-negara Skandinavia yang menerapkan welfare state murni, seperti Swedia (27.527 dolar AS/kapita, pembangunan sosial 27,1 persen), Norwegia (24.924 dolar AS/kapita, pembangunan sosial 28,7 persen), Denmark (25.150 dolar AS/kapita, pembangunan sosial 27,8 persen). Negara Eropa Barat lain yang masuk katagori negara sejahtera antara lain  Belanda, Perancis, Austria, Jerman, Inggris. Di kawasan Pasifik adalah Selandia Baru (13.020. dolar AS/kapita, pembangunan sosial 19 persen). 
    Negara kesejahteraan menetapkan antara lain kebijakan pajak amat besar dari warga negara yang bekerja, agar mampu membiayai pengeluaran sosial seperti perlindungan sosial kepada orang miskin dan pengangguran. Saat ini di Jerman pajak pendapatan yang dipotong dari tiap pekerja hampir mendekati lima puluh persen dari penghasilan setiap bulan. Semua negara ”baik hati” yang membayarkan tunjangan bagi pengangguran mempunyai GDP yang besar dan harus mengeluarkan belanja sosial yang juga besar, mencapai 20 persen/tahun.
Dalam negara kesejahteraan pengangguran ada, tetapi mereka memperoleh tunjangan. Kriteria yang ditetapkan pemerintah bahwa seseorang benar-benar adalah penganggur amat ketat, dan hampir tidak ada celah penipuan agar memperoleh tunjangan. Sarjana masih bujangan, belum bekerja, dan masih memiliki orang tua, mempunyai aset, sepeda motor misalnya, bukan tergolong penganggur. Seorang setengah baya yang mempunyai rumah namun tidak bekerja bukan seorang penganggur. Seorang sarjana yang belum memperoleh pekerjaan sesuai ijasah sarjana (S1), pemerintah menyediakan berbagai pelatihan tehnis jika yang bersangkutan mau bekerja lebih ”rendah” dari S1 atau dengan ijasah SMA.
Tunjangan pengangguran hanya diberikan kepada mereka yang miskin, tidak memiliki aset. Tunjangan itu pun hanya diberikan selama satu tahun, setelah itu ditinjau kembali. Besarnya tunjangan tidak akan melebihi upah minimum pekerja  atau upah minim regional (UMR).

Berbasis Komunitas

Pemberian tunjangan pengangguran serta santunan kepada fakir miskin merupakan bentuk human services negara kepada warganya terutama diberikan untuk kepentingan kesehatan, pendidikan dan sosial dalam kerangka perlindungan sosial. Berbagai bentuk bantuan dimaksud merupakan bentukan perlindungan sosial di mana implementasinya terkait dengan konstelasi ekonomi, sosial dan politik. Masyarakat miskin dan hampir miskin yang tinggal di wilayah perkotaan dan perdesaan adalah warga negara yang berhak memperoleh perlindungan pemerintah.
Perlindungan sosial baik itu sebagai inisiatif pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat bertujuan untuk menyediakan transfer pendapatan atau konsumsi bagi rakyat miskin, melindungi kelompok rentan  terhadap berbagai resiko penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan hak sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Perlindungan sosial merupakan elemen penting strategi kebijakan publik untuk melawan kemiskinan, dan melawan penderitaan multidimensi. Jika berbagai program perlindungan masyarakat bagi rakyat miskin terwujud maka pemerintah harus melakukan pelayanan berbasis komunitas.
Ketergantungan bantuan adalah ”candu” bagi rakyat miskin. Alih-alih mengubah perilaku rakyat miskin, menguatkan daya beli, BLSM sebesar Rp 300 ribu per keluarga per bulan sejumlah penerima menggunakan untuk membayar hutang pada rentenir. Mereka yang miskin berhutang karena memang tak memilikiu uang. Setelah membayar hutang, karena kemiskinan, mereka akan kembali berhutang untuk bisa melanjutkan kehidupan seisi rumah. Ini sebuah “lingkaran setan” yang melingkar dan masih tetap melilit ratusan juta rakyat miskin. Kita boleh saja berteori bahwa rakyat tidak mungkin diberikan ”ikan” terus menerus, namun yang terpenting adalah memberikan ”kail”. Tetapi dalam derajad atau kadar tertentu, juga kepada segmen masyarakat sangat miskin yang masih amat menderita, “ikan” tetap diperlukan oleh mereka dari pemerintah, walaupun kita mengakui bahwa rakyat miskin sekali pun memiliki kekuatan.
Ke depan kita harus mampu melakukan berbagai program perlindungan masyarakat yang memberdayakan mereka yang msikin. Program pengembangan masyarakat (community development/CD) yang berbasis masyarakat (community base) untuk membangun kembali struktur-struktur komunitas yang memungkinkan rakyat miskin dimampukan memerlukan alokasi pembiayaan yang seharusnya semakin meningkat. Pemerintah perlu merubah orientasi untuk memihak lebih banyak dengan menggelontorkan lebih banyak anggaran kepada berbagai program pemberdayaan masyarakat
Akhirnya,  perjuangan ke arah menyejahterakan rakyat sebagai tugas utama pemerintah namun masih terlalu jauh dari perhatian pemerintah, hal itu tercermin dari besaran alokasi anggaran melalui APBN setiap tahun. Pemerintah belum sepenuhnya mengimplementasi perintah dalam Pembukaaan UUD 1945 untuk mensejahterahkan seluruh rakyat. Pemerintah terkadang sibuk dengan hal-hal di luar kesejahteraan rakyat, dilihat dari alokasi pembiayaan Pemilu 2014 yang dianggarkan sebanyak Rp 17 triliun, besarnya alokasi dana untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk kepentingan TNI/Polri. Semua itu penting, tetapi, jika ratusan jutaan rakyat masih miskin, mengapa dana triliunan rupiah dianggarkan untuk alat berperang, ketimbang menggunakan untuk membeli beras, mebuka lahan baru untuk persawahan, membeli sayuran daging, pakaian, perumahan, biaya pendidikan, kesehatan untuk rakyat yang memerlukan? Ideal banget jika pemikiran tersebut terwujud. Rakyat miskin akan tersenyum tiap hari. Sebagian mereka tidak perlu berpayah-payah bekerja ke luar negeri, apalagi beberapa TKI menerima siksaan di sana?
Seyogyanya pemerintah melakukan reorientasi untuk memikirkan pentingnya upaya pengembangan rakyat miskin agar mereka produktif bersifat berkelanjutan, berkeadilan sosial, dan tanpa akhir(never ending).


Sumber : http://kemsos.go.id