Pembelajaran dan contoh yang
baik dalam praktik reformasi birokrasi akan bisa meningkatkan pelayanan publik
yang transparan dan akuntabel. Hal ini diharapkan dapat mengurangi
praktik-praktik korupsi di birokrasi dan dapat turut mendorong pembangunan
daerah yang berkeadilan dan menyejahterakan rakyat (BP 13/10-2012).
Di Indonesia, masalah birokrasi
telah mulai ada sejak zaman kolonial, orde lama, hingga orde baru. Hingga saat
ini permasalahan birokrasi seperti budaya KKN yang dianggap wajar, pelayanan
publik buruk, rendahnya sumber daya aparatur, mental birokrat yang feodal dan
paternalistik kepada penguasa (monoloyalitas) tidak bisa lepas dari dampak
rezim politik Soeharto yang menginginkan kekuasannya status quo (AIPI, 2012).
Permasalahan birokrasi
Indonesia mulai diperbaiki melalui program reformasi birokrasi yang merupakan
tuntutan reformasi pascakrisis ekonomi tahun 1997. Bappenas (2004) menegaskan
bahwa reformasi bidang lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa terlebih
dahulu mereformasi birokrasi pemerintah. Reformasi birokrasi bertujuan agar
birokrasi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efisien dan efektif
sehingga bisa terwujud clean government dan good governance.
Korupsi dalam Birokrasi
Reformasi birokrasi yang
digulirkan oleh pemerintah tersebut ternyata belum mampu memperbaiki budaya
birokrasi, terutama menekan perilaku birokrasi yang cenderung korup. Dengan
kata lain reformasi dari internal birokrasi saja belum efektif dalam
memberantas korupsi.
Sumber penyakit birokrasi pada
dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus, yaitu internal dan eksternal
(Irawati, 2012). Sumber internal berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem
yang ada di birokrasi itu sendiri. Secara internal, timbulnya perilaku korup
dalam birokrasi juga disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal. Sistem
pengawasan atasan-bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup
secara bersama-sama. Penyakit inilah yang menjadi fokus dari reformasi
birokrasi yang dilaksanakan pemerintahan sejak satu dekade yang lalu, meskipun belum
mencapai hasil yang diharapkan.
Secara eksternal, penyakit
korupsi dalam birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem yang
terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus korupsi
birokrasi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal
ini bermula dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis
hubungan afiliasi. Faktor eksternal lain adalah budaya masyarakat yang sangat
permisif dan menjadikan suap /gratifikasi dalam proses pemerintahan dan
pelayanan publik sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran dan
permintaan antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan. Kesadaran
masyarakat untuk mengawasi perilaku birokrasi juga cenderung apatis, meskipun
secara kasat mata mereka menyadari akan perilaku korupsi birokrat.
Reformasi Birokrasi
Disamping kedua lokus tersebut,
sebab lain dari masih maraknya praktik korupsi dan manipulasi diberbagai
lembaga pemerintah adalah karena kualitas birokrasi dan kultur yang terbangun
didalam organisasi pemerintahan kita masih belum jauh beranjak dari nilai-nilai
lama yang secara kumulatif diwariskan dari masa lalu. Perubahan yang terjadi
selama era reformasi ini hanya bersifat kosmetik dan pinggiran, tidak menyentuh
substansi atau akar masalah yang selama ini telah menjebak birokrasi kita
kedalam prilaku yang tidak produktif, inefisien dan koruptif. Karena itu sudah
tepat jika pemerintah era reformasi, khususnya dimasa pemerintahan Presiden SBY
meluncurkan program reformasi birokrasi. Secara umum dipahami bahwa reformasi
birokrasi minimal harus mencakup lima sasaran utama (Rasyid, 2012) yaitu:
(1.) Perampingan organisasi
dengan tujuan efisiensi pembiayaan, efisiensi penggunaan tenaga, dan efisiensi
pengunaan waktu dalam menapaki tahapan pengambilan keputusan.
(2.) Penerapan prinsip
transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.
(3.) Penegakan disiplin dan
pembangunan kultur birokrasi yang berbasis etika.
(4.) Penerapan asas
profesionalisme yang berbasis kompetensi dan integritas dalam rekrutmen dan
promosi.
(5.) Pemberian imbalan yang
sesuai kinerja dan kontribusi masing-masing organisasi dan personil yang
bekerja dilingkungan pemerintahan.
Dengan penerapan reformasi
birokrasi seperti itu akan mengantarkan kepada praktik pemerintahan yang bersih
(clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya tetap bisa menjamin tidak
terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan kata lain,
masyarakat luas tetap mendambakan tiga hal. Pertama, pelayanan publik secara
berkelanjutan demi kelancaran administrasi pemerintahan dan harus terbebas dari
pengaruh politik (adanya pergantian pemerintahan hasil pilkada langsung), PNS
harus netral dan hanya loyal kepada kepentingan negara. Kedua, perlindungan,
melalui perwujudan dan supremasi hukum (kepastian dan penegakan hukum),
sehingga masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari dalam
berbangsa dan bernegara. Ketiga, memberdayakan masyarakat. Pemerintah secara
langsung mendorong (memfasilitasi) masyarakat dalam berbagai kegiatan demi
kepentingan mereka dengan pemberian pelayanan dan perlindungan yang konsisten
dan tegas.
Reformasi birokrasi dan peluang
ke arah terwujudnya governance masih terbuka lebar apabila aparatur pemerintah
tidak lagi melakukan partikularisme dalam pelayanan publik atau dalam
menjalankan fungsinya sebagai “public servant”. Kontrak-kontrak kerja yang
dibuat apapun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan
akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair mesti dilakukan agar setiap
orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai
kelayakannya melaksanakan proyek itu. Dengan begitu kesempatan munculnya
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dan mark up yang selama ini terjadi dalam
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan.
Akhirnya, reformasi birokrasi
tetap menghendaki pemerintah bisa lebih adaptif terhadap perubahan dan dinamika
masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berkeadilan dan berpihak pada
kedaulatan rakyat sehingga lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara
profesional, proporsional dan efisien.
Sumber : http://www.kemendagri.go.id/article/2013/04/12/reformasi-birokrasi-dalam-pencegahan-korupsi