Kemiskinan masih menjadi masalah utama
bangsa. Versi pemerintah, Data Bappenas menyatakan, hingga Maret 2012,
tingkat kemiskinan telah turun menjadi 11.96 persen (29.13 juta jiwa).
Sebelumnya, per Maret 2011, tingkat kemiskinan nasional 12,49 persen.
Pada 2010, 13,33 persen. Penduduk miskin di Indonesia tersebar tidak
merata. Jumlah terbesar (57,8 persen) berada di pulau Jawa. Lalu
sebanyak 21 persen di Sumatera, 7,5 persen di Sulawesi, 6,2 persen di
Nusa Tenggara, 4,2 persen di Maluku dan Papua. Terkecil di Kalimantan
(3,4 persen). Sekali lagi, ini versi pemerintah.
Berbagai program telah diupayakan, namun
belum efektif. Angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan
karena inflasi yang dirasakan masyarakat miskin juga tinggi. Termasuk
jika pemerintah menaikkan harga BBM subsidi dalam waktu dekat. Kelompok
masyarakat miskin menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.
Harga-harga kebutuhan pokok pasti naik, seiring naiknya biaya
transportasi, ongkos produksi dan lain-lain.
Asal tahu saja, anggaran kemiskinan 2012
lalu cukup besar, mencapai Rp 99,2 triliun. Anggaran itu termasuk dana
pengentasan kemiskinan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), hingga transfer daerah. Untuk tahun 2014,
pemerintah menganggarkan Rp47,2 triliun. Jika berkaca pada
periode-periode sebelumnya, dimana anggaran selalu meningkat, tapi
penurunan kemiskinan tidak signifikan. Sebuah riset menunjukkan, selama
2007-2012 pemerintah telah menggelontorkan Rp 468,2 triliun untuk
mengatasi masalah kemiskinan. Hasilnya, angka kemiskinan tetap tinggi.
Banyak yang meyakini kebijakan penanganan kemiskinan selama ini tidak
menyentuh akar masalah. Sering kali pelaksanaan program-program itu
bersifat sosial, seperti pengentasan kemiskinan, dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu demi mendongkrak citra. Tak heran, angka kemiskinan
tetap besar.
Belajar dari orang lain bukan hal yang
buruk, entah itu keberhasilan atau pun kesalahannya. Yang bagus bisa
dijadikan contoh, yang salah diambil hikmahnya. Pemerintahan SBY sudah
mencoba mengambil pelajaran langsung dari Muhammad Yunus, doktor ekonomi
Bangladesh peraih Nobel Perdamaian 2006. Ia terkenal dengan julukan
“Bankir Kaum Miskin” karena gigih mengangkat masyarakat miskin lewat
kredit mikro lewat lembaganya Grameen Bank. Dua kali ia ke Indonesia dan
sempat memberi kuliah di depan kabinet. Sayang, agenda pembangunan yang
tertuang dalam APBN tak menyiratkan keberpihakan kuat terhadap
pemberantasan kemiskinan, terutama lewat kredit mikro.
Bila kredit mikro dipaksakan melalui
jalur perbankan yang ada saat ini tentu akan banyak pembatasan bagi kaum
miskin. Sama aja bo’ong, bahasa gaulnya. Kredit mikro ala Yunus
memfokuskan pada orang-orang yang benar-benar miskin, yang tidak
memiliki agunan sedikit pun (sebagai syarat utama pengajuan kredit di
perbankan), yang merancang bunga kredit sesuai kemampuan dan kemauan
kreditor, yang mendasarkan kredit pada kepercayaan penuh (trust) kepada
kemampuan survival orang miskin.
Mungkin masih jauh kredit mikro ala
Yunus bisa diberlakukan pemerintah Indonesia. Ada empat langkah yang
harus dilakukan pemerintah jika ingin menerapkan program mikro kredit
ala Yunus. Langkah pertama adalah keberanian melakukan terobosan,
mengeluarkan payung hukum bagi kredit mikro di luar UU Perbankan.
Langkah kedua, tekad yang kuat menggelontorkan dana pembangunan bagi
pengembangan mikro kredit. Katakan lah sekitar 10-15 persen APBN. Jika
tidak mungkin, karena beban utang negara akibat BLBI, mulai lah dengan 5
persen. Langkah ketiga, bentuk lembaga independen non-birokrasi yang
benar-benar reliable untuk otorisasi penyaluran dana tersebut ke seluruh
pelosok Indonesia.
Langkah keempat, tunggu dua atau tiga
tahun. Saya yakin orang-orang miskin pengguna mikro kredit itu akan
mengembalikan pinjamannya. Bahkan akan menggandakan kredit berikutnya.
Rakyat miskin diyakin lebih taat kredit ketimbang kaum kaya. Ekonomi
rakyat juga terbukti tahan banting dihujam krisis ekonomi model apa pun.
Hernando De Soto (1998, The Other Path) dengan menyakinkan menunjuk
pada “berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh
pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik,
yaitu kekuatan ekonomi rakyat yang telah terbukti tahan-banting dalam
situasi krisis apa pun dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari
kehancuran total. Buktinya, ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi
(pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada 1998. Dan mulai 1999 dan
seterusnya sudah tumbuh positif. Hal ini hendaknya dicatat sebagai bukti
bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali
meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.
Bila pemerintah belum juga melakukan
hal-hal di atas, usaha (filantropis) perseorangan atau pun pihak swasta
non-governmental masih bisa ditempuh.
Dunia telah belajar dari Yunus. Ia
dengan sadar membuang segudang teori ekonomi muluk dan canggih lalu
turun ke kampung dekat kampus tempatnya mengajar untuk menemui
orang-orang termiskin. Bukan dengan cara pandang dari awang-awang
(bird’s view) seperti dikerjakan pundits ekonomi. Bukan dari ruangan
sejuk dengan perangkat canggih, bukan pula lewat diskusi dan
seminar-seminar di hotel, melainkan lewat mata cacing yang merayap di
tanah, Yunus mengajari koleganya untuk memahami langsung problema
kemiskinan lalu mencari jalan keluarnya.
Yunus dengan lantang, namun tetap
santun, menohok peran lembaga-lembaga donor internasional yang tak
pernah percaya kemampuan orang-orang miskin mengelola kredit. Dia
menyakini, hampir tak ada sepeser pun bantuan donor yang benar-benar ke
tangan orang-orang miskan. Alasannya: hampir 80 persen dana bantuan
donor kembali ke negara donor. Biaya konsultan asing, membeli produk
negara donor, yang intinya jumlah ini lebih banyak dimanfaatkan untuk
membiayai produk negara donor sendiri. Sisanya 20 persen habis untuk
biaya lobi birokrasi, kontraktor dan segelintir konsultan lokal. Hampir
tak ada bagian yang jatuh langsung ke orang-orang miskin negara tujuan.
Situasi ini terjadi di semua negara
penerima bantuan yang besarnya mencapai USD50-55 miliar per tahun.
Proyek-proyek bantuan menciptakan birokrasi massif, yang langsung
menjadi korup dan inefisien, dengan kerugian sangat besar. Di dunia yang
mengunggulkan ekonomi pasar dan persaingan bebas, uang bantuan masih
digunakan untuk meningkatkan belanja pemerintah, yang sering bertindak
melawan ekonomi pasar.
Kebanyakan bantuan asing dipakai untuk
membangun jalan, jembatan, dan lain sebagainya yang niatnya membantu
kaum miskin “dalam jangka panjang.” Namun toh pihak-pihak yang
sesungguhnya mendapat manfaat dari sebagian besar bantuan ini justru
mereka yang sudah kaya. Bantuan asing menjadi semacam amal bagi penguasa
sementara kaum miskin tambah melarat. Jika ingin ada dampaknya pada
kaum papa, maka bantuan ini seharusnya ditata ulang sehingga bisa
langsung mencapai rumah tangga miskin.
Kita masih belum terlambat belajar.