-Ketua Forum Peduli Masyarakat Miskin (FPMM) Cabang Jakarta Timur

-Sekretaris Forum Redam Korupsi (FORK) Cabang Jakarta Timur

Jumat, 24 Mei 2013

Memuliakan Orang Miskin

Kemiskinan masih menjadi masalah utama bangsa. Versi pemerintah, Data Bappenas menyatakan, hingga Maret 2012, tingkat kemiskinan telah turun menjadi 11.96 persen (29.13 juta jiwa). Sebelumnya, per Maret 2011, tingkat kemiskinan nasional 12,49 persen. Pada 2010, 13,33 persen. Penduduk miskin di Indonesia tersebar tidak merata. Jumlah terbesar (57,8 persen) berada di pulau Jawa. Lalu sebanyak 21 persen di Sumatera, 7,5 persen di Sulawesi, 6,2 persen di Nusa Tenggara, 4,2 persen di Maluku dan Papua. Terkecil di Kalimantan (3,4 persen). Sekali lagi, ini versi pemerintah.
Berbagai program telah diupayakan, namun belum efektif. Angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan karena inflasi yang dirasakan masyarakat miskin juga tinggi. Termasuk jika pemerintah menaikkan harga BBM subsidi dalam waktu dekat. Kelompok masyarakat miskin menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Harga-harga kebutuhan pokok pasti naik, seiring naiknya biaya transportasi, ongkos produksi dan lain-lain.
Asal tahu saja, anggaran kemiskinan 2012 lalu cukup besar, mencapai Rp 99,2 triliun. Anggaran itu termasuk dana pengentasan kemiskinan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga transfer daerah. Untuk tahun 2014, pemerintah menganggarkan Rp47,2 triliun. Jika berkaca pada periode-periode sebelumnya, dimana anggaran selalu meningkat, tapi penurunan kemiskinan tidak signifikan. Sebuah riset menunjukkan, selama 2007-2012 pemerintah telah menggelontorkan Rp 468,2 triliun untuk mengatasi masalah kemiskinan. Hasilnya, angka kemiskinan tetap tinggi. Banyak yang meyakini kebijakan penanganan kemiskinan selama ini tidak menyentuh akar masalah. Sering kali pelaksanaan program-program itu bersifat sosial, seperti pengentasan kemiskinan, dimanfaatkan oleh kelompok tertentu demi mendongkrak citra. Tak heran, angka kemiskinan tetap besar.
Belajar dari orang lain bukan hal yang buruk, entah itu keberhasilan atau pun kesalahannya. Yang bagus bisa dijadikan contoh, yang salah diambil hikmahnya. Pemerintahan SBY sudah mencoba mengambil pelajaran langsung dari Muhammad Yunus, doktor ekonomi Bangladesh peraih Nobel Perdamaian 2006. Ia terkenal dengan julukan “Bankir Kaum Miskin” karena gigih mengangkat masyarakat miskin lewat kredit mikro lewat lembaganya Grameen Bank. Dua kali ia ke Indonesia dan sempat memberi kuliah di depan kabinet. Sayang, agenda pembangunan yang tertuang dalam APBN tak menyiratkan keberpihakan kuat terhadap pemberantasan kemiskinan, terutama lewat kredit mikro.
Bila kredit mikro dipaksakan melalui jalur perbankan yang ada saat ini tentu akan banyak pembatasan bagi kaum miskin. Sama aja bo’ong, bahasa gaulnya. Kredit mikro ala Yunus memfokuskan pada orang-orang yang benar-benar miskin, yang tidak memiliki agunan sedikit pun (sebagai syarat utama pengajuan kredit di perbankan), yang merancang bunga kredit sesuai kemampuan dan kemauan kreditor, yang mendasarkan kredit pada kepercayaan penuh (trust) kepada kemampuan survival orang miskin.
Mungkin masih jauh kredit mikro ala Yunus bisa diberlakukan pemerintah Indonesia. Ada empat langkah yang harus dilakukan pemerintah jika ingin menerapkan program mikro kredit ala Yunus. Langkah pertama adalah keberanian melakukan terobosan, mengeluarkan payung hukum bagi kredit mikro di luar UU Perbankan. Langkah kedua, tekad yang kuat menggelontorkan dana pembangunan bagi pengembangan mikro kredit. Katakan lah sekitar 10-15 persen APBN. Jika tidak mungkin, karena beban utang negara akibat BLBI, mulai lah dengan 5 persen. Langkah ketiga, bentuk lembaga independen non-birokrasi yang benar-benar reliable untuk otorisasi penyaluran dana tersebut ke seluruh pelosok Indonesia.
Langkah keempat, tunggu dua atau tiga tahun. Saya yakin orang-orang miskin pengguna mikro kredit itu akan mengembalikan pinjamannya. Bahkan akan menggandakan kredit berikutnya. Rakyat miskin diyakin lebih taat kredit ketimbang kaum kaya. Ekonomi rakyat juga terbukti tahan banting dihujam krisis ekonomi model apa pun. Hernando De Soto (1998, The Other Path) dengan menyakinkan menunjuk pada “berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan ekonomi rakyat yang telah terbukti tahan-banting dalam situasi krisis apa pun dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Buktinya, ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada 1998. Dan mulai 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif. Hal ini hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.
Bila pemerintah belum juga melakukan hal-hal di atas, usaha (filantropis) perseorangan atau pun pihak swasta non-governmental masih bisa ditempuh.
Dunia telah belajar dari Yunus. Ia dengan sadar membuang segudang teori ekonomi muluk dan canggih lalu turun ke kampung dekat kampus tempatnya mengajar untuk menemui orang-orang termiskin. Bukan dengan cara pandang dari awang-awang (bird’s view) seperti dikerjakan pundits ekonomi. Bukan dari ruangan sejuk dengan perangkat canggih, bukan pula lewat diskusi dan seminar-seminar di hotel, melainkan lewat mata cacing yang merayap di tanah, Yunus mengajari koleganya untuk memahami langsung problema kemiskinan lalu mencari jalan keluarnya.
Yunus dengan lantang, namun tetap santun, menohok peran lembaga-lembaga donor internasional yang tak pernah percaya kemampuan orang-orang miskin mengelola kredit. Dia menyakini, hampir tak ada sepeser pun bantuan donor yang benar-benar ke tangan orang-orang miskan. Alasannya: hampir 80 persen dana bantuan donor kembali ke negara donor. Biaya konsultan asing, membeli produk negara donor, yang intinya jumlah ini lebih banyak dimanfaatkan untuk membiayai produk negara donor sendiri. Sisanya 20 persen habis untuk biaya lobi birokrasi, kontraktor dan segelintir konsultan lokal. Hampir tak ada bagian yang jatuh langsung ke orang-orang miskin negara tujuan.
Situasi ini terjadi di semua negara penerima bantuan yang besarnya mencapai USD50-55 miliar per tahun. Proyek-proyek bantuan menciptakan birokrasi massif, yang langsung menjadi korup dan inefisien, dengan kerugian sangat besar. Di dunia yang mengunggulkan ekonomi pasar dan persaingan bebas, uang bantuan masih digunakan untuk meningkatkan belanja pemerintah, yang sering bertindak melawan ekonomi pasar.
Kebanyakan bantuan asing dipakai untuk membangun jalan, jembatan, dan lain sebagainya yang niatnya membantu kaum miskin “dalam jangka panjang.” Namun toh pihak-pihak yang sesungguhnya mendapat manfaat dari sebagian besar bantuan ini justru mereka yang sudah kaya. Bantuan asing menjadi semacam amal bagi penguasa sementara kaum miskin tambah melarat. Jika ingin ada dampaknya pada kaum papa, maka bantuan ini seharusnya ditata ulang sehingga bisa langsung mencapai rumah tangga miskin.
Kita masih belum terlambat belajar.